Selain berladang dan bercocok tanam, kegiatan sehari-hari Masyarakat Baduy adalah menenun dan berdagang. Mereka membuat kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang dianyam. Kemudian hasil kerajinan tangan dan tenunan dijual di wilayah Baduy Luar dan Baduy Dalam. Terkadang mereka untuk membeli sesuatu harus pergi keluar Desa Kanekes. Mereka biasa naik turun gunung untuk pergi keluar, mencari kayu bakar dan berladang tanpa alas kaki. Perjalanan sejauh apapun harus ditempuh dengan berjalan kaki
Perjalanan dari Baduy Luar ke Baduy Dalam dapat ditempuh sekitar 4 jam, apalagi membawa rombongan. Namun untuk orang baduy sendiri, mereka menempuh perjalanan sekitar 1 sampai 1,5 jam dengan jarak sekitar 15 KM. Untuk medan yang normal jarak tersebut dapat ditempuh 1-1,5 jam.
Apa sebenarnya keunikan dari masyarakat Baduy?. Selain wilayahnya yang asri, berbukit-bukit, medan perjalanan menuju Baduy Dalam cukup menantang karena jalan yang harus ditempuh cukup mengesankan dengan konstur tanah yang naik turun atau berbukit-bukit, suasana alam yang indah dengan pegunungan Kendeng dan Gunung Baduy yang indah dan terawat dan dirawat apik oleh masyarakat Baduy, serta aliran Sungai Ciujung dan Cibaduy yang belum terkontaminasi oleh tangan-tangan jahil, memang orang baduy sangat bersahaja dengan alam di sekitar desa Kanekes. Ada keunikan lain dari masyarakat Baduy yang mungkin tidak bisa kita tiru atau tidak dapat kita mengikutinya, keunikan tersebut antara lain :
1. Tata cara berpakaian
Cara berpakaian masyarakat, pada umumnya selalu menyesuaikan dengan kondisi dan model pakaian yang beraneka ragam yang tentunya sesuai dengan trend atau mode yang sedang bergulir, tentunya harganyapun mahal, namun bagi masyarakat Baduy mode atau model pakaian bukanlah prioritas utama yang mereka tampilkan, pakaian mereka cukup sederhana dengan dua warna yang khas yakni warna putih dan hitam/gelap. Ada satu ciri yang membedakan antara pakaian orang Baduy dalam dan Baduy Luar, khususnya pada laki-laki yaitu warna baju dan iket kepala (slayer) selalu berwarna putih, sedangkan pada masyarakat Baduy Luar ikat kepala bermotif batik dengan warna dasar biru dan baju warna hitam, untuk bawahannya ( Celana ) orang Baduy Dalam selalu mengenakan bahan warna gelap dan cukup diikat dengan selembar kain pengikat berwarna putih yang dijadikan sebagai penguat selembar bahan ( Celana tanpa dijahit) yang melingkar dari pinggang hingga paha, pada kain yang melingkar tersebut selalu terselip sebilah golok khas masyarakat Baduy. Sementara orang Baduy Luar untuk bawahan sudah ada yang mengenakan model celana agak lebar dan berwarna hitam serta kain pengikat pada pinggang untuk menyelipkan sebilah golok. Sementara untuk kaum wanitanya tidak terlalu berbeda yakni kain, baju warna hitam tutup kepala, perbedaannya adalah pakaian wanita atau pria yang dipergunakan oleh masyarakat Baduy Dalam tidak dijahit dengan mesin jahit, melainkan dikaput ( dijahit ) dengan tangan saja, sementara untuk masyarakat Baduy Luar pakaian yang mereka kenakan sudah dijahit dengan mesin jahit, bahkan membeli pakain yang sudah jadi. Dan yang tak pernah ketinggalan adalah kain berbentuk bujur sangkar berwarna putih yang berfungsi sebagai tas untuk menyimpan bekal selama perjalanan atau tas jarog yang terbuat dari kulit kayu teureup yang telah dianyam membentuk tas.
2. Tata cara menanam padi
Indonesia terkenal dengan negara agraris dimana penduduknya sebagian besar hidupnya dari hasil pertanian, proses penanaman padi pada masyarakat pertanian selalu pada daerah datar pesawahan yang membentang dari ujung keujung atau lahan pertaniannya berbentuk terasering dengan pengairan dan irigasi yang sangat baik, pemupukan yang sangat modern serta penanaman dan panennya bisa tiga kali dalam satu tahun dikarenakan kecanggihan teknologi. Bagi masyarakat Baduy menanam pada hanya satu kali dalam satu tahun secara otomatis panennyapun hanya hanya satu kali. Masyarakat Baduy biasa menanam padi pada saat menjelang musim penghujan tiba, dan apa yang unik dari pertanian di Baduy khususnya padi. Masyarakat Baduy menanam padi ( Huma ) pada daerah dan tempat-tempat yang berbukit dan terjal, tanpa pengairan, pupuk, alat modern atau dengan kata lain tanpa teknologi tepat guna. Lalu bagaimana proses masyarakat menanam padinya?
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan salah seorang warga Baduy yang bernama Mang Arji juga sekaligus guide untuk para tamu, beliau memberikan informasi sebagai berikut, “ Bahwa masyarakat Baduy dalam menanam padi melalui tahap-tahap seperti di bawah ini :
Atau memotong semua tanaman dan rerumputan serta pepohonan kecil yang berupa semak belukar dengan menggunakan sebilah sabit, pada tahap ini para petani huma membabat habis semua semak belukar yang diperkirakan akan mengganggu tumbuhnya tanaman padi, sehingga padi akan tumbuh dengan baik.
2. nutuhan
adalah memotong dahan-dahan pepohonan yang dapat mengganggu dan menghalangi sinar matahari dalam proses fotosintesa dan proses penyinaran sempurna terhadap tanaman utama maupun tanaman penyela
3. ngaduruk
Merupakan kegiatan membakar semak belukar, ranting dan dahan yang telah dipangkas habis pada kegiatan sebelumnya, dan hasil proses pembakaran ini dijadikan sebagai penyubur tanaman atau pupuk.
4.nyasap/sasap
Kegiatan para petani huma untuk membersihkan rerumputan yang baru tumbuh, dan rerumputan yang telah dibersihkan tersebut dibiarkan hingga membusuk yang selanjutnya dapat pula dijadikan penyubur tanaman/pupuk.
5. ngaseuk
Dilakukan dengan menggunakan sebatang kayu sebesar kepalan jari tangan yang diruncingkan pada bagian ujung kayu tersebut dan dipergunakan untuk membuat lubang tempat menyimpan biji/bibit padi secara beraturan dan dengan pentaan yang rapi sehingga kelihatan indah dipandang mata
6. ngored
Kegiatan membersihkan rerumputan yang tumbuh diantara tanaman padi pada saat usia padi diperkirakan 2-3 minggu, sebab apabila ngored tidak dilakukan maka kemungkinan besar sari makanan yang seharusnya untuk padi, dihisap oleh tanaman hama atau rerumputan tersebut, yang pada akhirnya pertumbuhan padi tidak sempurna karena banyaknya tanaman pengganggu/hama
7. mulihan
Merupakan kegiatan membersihkan rerumputan tahap ke dua setelah usia padi sekitar 3 bulan, hal ini dilakukan untuk mengontrol pertumbuhan padi dan juga merawat pertumbuhannya, jangan sampai ada tanaman padi yang kurang bagus pertumbuhannya.
8. ngala pare/panen
Pada tahap berikutnya sekitar usia padi 7 bulan, maka para petani secara bersama-sama melakukan panen atau menuai padi dengan menggunakan pisau etem dan tanaman padi sisa panen biasanya diinjak agar terlihat padi yang mana yang belum diambil.
9. moe pare
Padi yang telah dituai selanjutnya dijemur di pematang huma diatas sebatang bambu yang dibentangkan hingga padi-padi tersebut kering serta siap untuk ditumbuk atau dimasukan keleuit/lumbung padi
11. mawa pare ka leuit
Padi yang telah dijemur di pematang huma hingga kering tersebut kemudian dibawa dan disimpan di leuit yang selanjutnya siap dikonsumsi baik dijual maupun dimakan.
12. jami huma
adalah kegiatan akhir proses penanaman padi huma/padi tadah hujan, karena untuk mengairi humanya masyarakat Baduy hanya mengandalkan turunnya hujan. Kegiatan jami huma ini adalah kegiatan terakhir dan kegiatan awal untuk memulai apabila akan datangnya musim hujan
3. Bentuk Rumah dan Proses pembuatannya
Proses pembuatan rumah/membangun rumah selalu dikerjakan secara gotong royong, yang menunjukkan bahwa masyarakat Baduy sangat tinggi rasa kebersamaannya. Adapun bentuk rumah tidak semewah rumah di kota-kota yang dindingnya menggunakan pasir, semen, ditata dengan indah, diberikan berbagai aksesoris dan hiasan dinding sesuai dengan keinginan pemilik rumah, namun pada masyarakat Baduy rumah mereka cukup sederhana, terbuat dari bahan-bahan seperti kayu yang berasal dari alamnya, bilik bambu, atap rumbia, genting ijuk dan lain-lain yang jelas sangat sederhana, dengan posisi semua rumah di Baduy selalu menghadap utara selatan, yang secara logika rumah menghadap utara selatan maka proses pergantian dan penyinaran sinar matahari sangat baik, apabila pagi sinar matahari masuk dari arah timur dan sore hari sinar matahari masuk dari arah barat, sehingga masyarakat baduy memiliki tingkat kesehatan yang sangat tinggi apalagi dengan aktifitas mereka yang selalu berolah raga setiap hari, namun olah raga yang mereka lakukan bukan olah raga yang pada umumnya dilakukan, olah raga yang mereka lakukan adalah olah raga yang berkaitan dengan aktifitas mereka sehari-hari.
4. Kebiasaan Nyirih/nyeupah pada masyarakat Baduy Dalam
Pada umumnya nyirih atau nyepah istilah sunda, dilakukan oleh kaum wanita tua, namum nyirih/nyeupah selalu dilakukan oleh masyarakat Baduy baik pria maupun wanita, adapun manfaat nyirih menurut pengakuan mereka adalah untuk menguatkan gigi, dan ternyata kebenaran itu terbukti ketika penulis mengamati gigi masyarakat Baduy pada umumnya masih terpelihara rapi dan lengkap walaupun bibir, mulut dan gigi mereka terlihat berwarna kemerah-merah karena sisa nyirih/nyeupah yang mereka lakukan karena kebiasaan tersebut.
5. Pembuatan Jembatan tanpa paku
Dimanapun adanya yang bernama jembatan selalu terbuat dari besi, beton atau kayu dan bembu yang diperkuat dengan menggunakan paku. Berbeda dengan masyarakat Baduy, beberapa jembatan yang memisahkan perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam yang dilintasi sungai Ciujung dan sungai Cibaduy tak ada satupun yang terbuat beton, namun jembatan yang menghubungkan Baduy Luar dan Dalam dengan lebar sekitar 12 meter, hanya dibuat dari susunan bambu tanpa menggunakan paku, tapi untuk memberikan kekuatan pada jembatan tersebut mereka hanya mengikat dengan tambang ijuk yang pembuatannya pada ujung-ujung yang bersebrangan selalu dihubungkan dengan pepohonan yang tumbuh pada dua sisi sungai dan diikat erat dengan menggunakan tali ijuk berwarna hitam.
6. Pembuatan Gula aren/Merah
Selain bercocok tanam dan huma, masyarakat Baduy selalu berupaya mengisi waktu untuk menambah penghasilannya dengan melakukan kegiatan membuat gula aren ( gula merah ) yang merupakan sumber utamanya adalah pohon aren yang ada disekitar alam pegunungan Kendeng. Hasil dari pembuatan gula aren tersebut sebagian dijual ke pasar dan sebagian dijual dirumah mereka masing-masing.
7. Proses penguburan orang meninggal
Proses perawatan orang meninggal pada umumnya sama dengan masyarakat luas namun yang unik dan berbeda dengan masyarakat luas adalah cara penguburan mayat. Pemakaman umum pada masyarakat Baduy selalu berada di sebelah selatan dari perkampungan, dan Penguburan mayat pada masyarakat Baduy berbeda dengan masyarakat pada umumnya, perbedaan tersebut yakni bahwa masyarakat luas umumnya kepala si mayat berada di sebelah utara dan muka menghadap ke arah kiblat, namun pada masyarakat Baduy orang yang meninggal ketika dikubur mengahadap Barat dan Timur, dengan kepala si mayat berada di sebelah Barat dan muka menghadap ke Utara. Dan yang lebih unik lagi bahwa kita tidak akan menemukan pemakaman umum, karena cara mereka mengubur/menata kuburan beda dengan masyarakat lauas yakni yang selalu diberi ciri apakah pohon hanjuang atau pohon plamboyan, namum pada masyrakat Baduy tidak ada ciri khusus, bahkan kuburan dibuat rata layaknya tanah datar, dan tiudak ada ciri khusus, apabila mereka berziarah, hanya cukup di rumah saja.
8. Ronda Siang
Pada umumnya, yang namanya ronda selalu dilaksanakan pada malam hari, dimanapun adanya. Namun berbeda dengan masyarakat Baduy terutama masyarakat Baduy Dalam, masyarakat Baduy Dalam selalu melaksanakan tugas ronda pada siang hari, dan pada hari-hari yang telah ditentukan para pemuda khususnya yang berbaur dengan beberapa orang tua melaksanakan tugas ronda, mereka tidak harus kemana-mana, cukup melakukan ronda disekitar Cibeo saja. Pada malam hari mereka tidur pulas untuk menyongsong pekerjaan yang telah menanti di ladang keesokan harinya.
9. Binatang Kaki empat
Di daerah mana di Indonesia ini yang tidak ada binatang berkaki empat, yang dagingnya dapat dimanfaatkan atau dimakan, misalnya: kuda, sapi, kerbau, kambing, babi, onta atau binatang kaki empat lainnya. Binatang kaki empat selain anjing saja tidak ada, apalagi ojeg.
Selain anjing kita tidak akan pernah menemukan binatang kaki empat di Baduy. Kerbau, sapi, kuda, onta atau lainnya tidak akan pernah kita temukan di sana. Alasan mereka cukup singkat dan padat, yaitu karena adanya larangan adat. Dengan larangan adat saja mereka sangat mentaati. Tidak ada bantahan-bantahan apalagi melanggarnya. Itulah ketaatan masyarakat Baduy, yang selalu patuh dengan kebiasaan dan adat yang sudah melekat dalam diri mereka sebagai warisan leluhur mereka
Dengan palsafah “ Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunag disambung”, masyarakat Baduy tidak pernah mengada-ada, akan tetapi mereka hidup apa adanya dengan memanfaatkan alam yang ada tapi tidak merusak alam, menggali potensi alam, tapi alam tidak carut marut, mengolah lahan huma, tapi keseimbangan alam tetap dijaga. Selama potensi Masyarakat Baduy dan adat istiadatnya tetap dijaga, maka berbahagialah seluruh umat manusia.